Jumat, 19 Desember 2014

Sejarah Berhitung Dan Perkembangannya

Matematika tidak hanya tentang berhitung. Berhitung hanya merupakan salah satu cabang dari matematika. Namun berhitung ada dan dibutuhkan  hampir di semua cabang dari matematika yang ada saat ini. Dari 80 cabang besar matematika, berhitung ada dan turut berperan penting di hampir semua cabang besar tersebut, baik sebagai terapan maupun sebagai alat bantu dalam perhitungan.
Berhitung pada umumnya didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang bilangan. Lebih lengkapnya, Webster’s New Third International Dictionary merumuskan berhitung sebagai “cabang matematika yang berkenaan dengan sifat dan hubungan bilangan-bilangan nyata dan dengan perhitungan mereka terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Untuk lebih memahami makna berhitung, maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai pengertian dari bilangan. Menurut Bruce E. Meserve, bilangan adalah suatu abstraksi, artinya bilangan tidak memiliki keberadaan secara fisik. Namun, bilangan dapat dituliskan dengan lambang-lambang yang dapat mewakili suatu bilangan yang ingin disampaikan.
Bilangan sendiri muncul karena adanya suatu kuantitas yang ingin diungkapkan. Setelah bilangan sudah dapat dituliskan dengan lambang-lambang bilangan, selanjutnya manusia mulai mengembangkan sifat-sifat, hubungan, aturan, serta perhitungan yang terjadi antar bilangan-bilangan tersebut sehingga muncullah istilah berhitung.
Sejarah berhitung merupakan sejarah yang panjang, karena berhitung sendiri telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Tidak ada yang mengetahui oleh siapa,  dimana, dan kapan tepatnya berhitung ditemukan, karena sebenarnya berhitung bukan merupakan temuan para pemikir, namun berhitung merupakan sebuah kebutuhan yang ada di dalam diri manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh sebab itulah perkembangan berhitung terpencar di berbagai pusat kebudayaaan kuno dengan pertumbuhan yang terpisah-pisah.
Secara garis besar, tahapan pertumbuhan berhitung dari zaman kuno sampai masa kini:
1.      Zaman purbakala – Tahun 600 SM                       Mesopotamia dan Mesir kuno
2.      Tahun 600 SM – Tahun 450                                 Yunani Kuno
3.      Tahun 450 – Tahun 1200                                      Hindu-Arab
4.      Tahun 1200 – Tahun 1600                                    Eropa Lama
5.      Tahun 1600 – Sekarang                                        Masa kini
Peninggalan sejarah berhitung yang tertua adalah dari zaman Mesopotamia dan Mesir Kuno. Namun, bukan berarti pada masa itulah berhitung pertama kali ada. Sebenarnya berhitung sendiri telah ada dan dipergunakan oleh masyarakat primitif sejak zaman Batu Tua atau Paleolitikum. Hal ini dibuktikan dengan seiring ditemukannya sisa-sisa kebudayaan suku bangsa yang dianggap primitif, ditemukan pula bukti bahwa suku tersebut sudah mengenal berhitung.
Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai perkembangan berhitung pada Zaman Batu Tua dan Zaman Batu Muda:
1.      Zaman Batu Tua (Paleolitikum)
Salah satu ciri dari kebudayaan pada masa ini adalah sikap pasif manusia terhadap alam. Mereka hidup berpindah-pindah tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka belum bisa mengolah lingkungan sekitarnya untuk disuaikan dengan kebutuhan. Hal ini menunjukkan bahwa pola pikir masyarakat pada zaman ini belum berkembang pesat.
Begitu pula dengan pengetahuan mereka tentang berhitung yang berkembang dengan lambat. Bahkan ada dugaan bahwa manusia pada zaman ini belum mengenal berhitung sebagai suatu besaran kuantitatif, melainkan masih bersifat kualitatif, yaitu hanya sekedar untuk membedakan antara satu, dua dan banyak.

2.      Zaman Batu Muda (Neolitikum)
Zaman ini merupakan Zaman peralihan dari zaman Batu Tua, yaitu sekitar 10.000 tahun yang lalu. Manusia pada zaman ini tidak lagi bersifat pasif terhadap alam. Mereka tidak lagi hidup berpindah-pindah untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan mereka mulai pandai mengolah alam sekitarnya untuk menghasilkan cara hidup yang lebih terancana. Hal ini memungkinkan terbukanya peluang bagi masyarakat saat itu untuk mengembangkan kebudayaan mereka, salah satunya adalah berkembangnya sistem berhitung.
Perkembangan berhitung pada zaman ini telah mencakup pengetahuan berupa penjumlahan, pengurangan, bahkan sampai ke perkalian dan pembagian. Mereka juga mengembangkan berhitung berupa pengukuran dan penimbangan guna perencanaan dan persiapan. Perbedaan yang signifikan antara berhitung pada zaman ini dengan zaman sebelumnya adalah bahwa manusia pada zaman ini sudah dapat menghitung benda-benda sebelum benda-benda tersebut ada.
Dari penjelasan diatas, jelas bahwa behitung merupakan salah satu kebudayaan kuno yang bahkan telah ada dan berkembang bahkan sejak Zaman Batu Tua, dan mulai berkembang ke arah berhitung di masa kini  pada Zaman Batu Muda. Namun, tetap ada beberapa perbedaan yang signifikan antara berhitung pada zaman kuno dengan berhitung pada zaman-zaman setelahnya. Diantaranya adalah :
a.       Kemampuan berhitung masyarakat pada zaman kuno terbatas pada bilangan-bilangan bulat. Jika ada perhitungan yang tidak bernilai bulat, maka mereka menyatakannya dengan satuan ukuran yang lain. Contohnya, mereka tidak menyatakan suatu bilngan hasil dari pengukuran dengan satu setengah hasta, melainkan mereka menyatakannya dengan satu hasta satu jengkal.
b.      Berhitung pada zaman ini terikat pada benda atau objek. Mereka belum bisa menetralkan bilangan menjadi angka yang abstrak.
c.       Terbatas pada bilangan-bilangan terhingga.
Perkembangan berhitung selanjutnya yaitu pada masa Mesopotamia di Sumeria, Babilonia, dan di Mesir kuno. Hal ini  bukan berarti berhitung tidak berkembang di daerah lain, hanya saja perkembangan berhitung yang sangat pesat dan masih mempengaruhi sistem berhitung masa kini dan disertai banyaknya bukti-bukti peninggalan sejarah pada masa itu adalah peninggalan sejarah berhitung Mesopotamia dan Mesir Kuno.
Telah diketahui pula bahwa kemampuan berhitung orang-orang pada masa itu cukup tinggi, mulai dari memecahkan perhitungan-perhitungan yang cukup rumit sampai  perhitungan ilmu ukur. Kenyataan lain yang diperoleh adalah bahwa orang-orang di masa ini sudah dapat menuliskan bilangan-bilangan dengan simbol-simbol berupa angka. Hal ini penting diketahui mengingat teknik berhitung sangat dipengaruhi oleh sistem penulisan bilangan.
Menurut lambang dan sistem penulisan bilangan yang ada pada masa ini, dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu :
1.      Kelompok Mesopotamia dengan Sumeria dan Babilonia
Sistem penulisan bilangan Mesopotamia adalah berdasarkan letak angka, sama seperti sistem yang digunakan sampai saat ini. Sistem penulisan ini mengakibatkan angka yang sama dapat memiliki nilai yang berbeda jika peletakannya berbeda. Menurut O.Neugebaur, penemuan penulisan bilangan berdasarkan letak mungkin disebabkan oleh tulisan mereka yang terdiri atas abjad. Abjad dijajarkan untuk menjadi kata, demikian pula angka dijajarkan untuk menjadi bilangan.
Sedangkan untuk bilangan dasar yang digunakan oleh orang-orang Mesopotamia adalah  bilangan dasar seksagesimal. Misalnya, bilangan 11 pada bilangan dasar seksagesimal diartikan 1 jam 1 menit atau 61 dalam sistem bilangan desimal. Namun, pada dasarnya kepraktisan perhitungan bukan ditentukan oleh bilangan dasar, melainkan ditentukan oleh sistem penulisannya. Dan penulisan bilangan dengan sistem letak merupakan sistem yang sangat memudahkan dalam proses perhitungan, oleh sebab itulah sistem bilangan yang banyak dipakai sampai sekarang adalah sistem letak, tentunya setelah melalui proses penyempurnaan tahap demi tahap selama ribuan tahun.
Kendala yang dihadapi oleh orang-orang Mesopotamia yang menggunakan sistem letak dalam penulisan bilangan ini bahwa mereka pada saat itu belum mengenal lambang bilangan 0. Tanpa adanya bilangan 0, maka sulit untuk membedakan bilangan 1 dengan 60.  Atau contohnya dalam penulisan bilangan dasar desimal, akan sulit untuk membedakan antara bilangan 1, 10, 100, dan seterusnya tanpa adanya lambang bilangan 0.
Namun tetap saja, sekalipun terdapat beberapa kendala seperti contohnya tadi belum dikenalnya bilangan 0, dengan sistem bilangan berdasarkan letak ini perkembangan berhitung di Mesopotamia khususnya perkembangan dalam teknik berhitung berkembang sangat pesat terutama pada zaman Babilonia. Mereka bahkan sudah bisa membuat persamaan dengan variabel-variabel serta menyelesaikan persamaan kuadrat dan kubik. Dalam bidang ilmu ukur, mereka juga telah mampu menghitung luas bangun datar dan volum bangun ruang.
Untuk penulisan lambang  bilangan,  orang-orang Mesopotamia menuliskannya dalam bentuk baji. Diperkirakan tulisan ini berasal dari Sumeria yang pada awalnya diciptakan untuk memudahkan pencatatan harta kekayaan dan hasil bumi dalam pengorganisasian sistem ekonomi mereka.

2.      Kelompok Mesir Kuno
Sistem penulisan bilangan Mesir Kuno dilakukan menurut beberapa ketentuan, yaitu berdasarkan sistem pengelompokan dimana penulisan lambang bilangan dalam satu kelompok dilakukan dengan pengulangan lambang bilangan dari anggota kelompok terkecil, dan berdasarkan sistem bilangan dasar desimal tanpa sistem letak bilangan.  Setiap kelipatan sepuluh dinyatakan dengan lambang sendiri.
Misalnya jika A adalah sebagai satuan, B sebagai puluhan dan C sebagai ratusan, maka bilangan 332 ditulis CCCBBBAA. Suatu penulisan yang cukup panjang untuk menyatakan bilangan ratusan, bisa dibayangkan kesulitan yang terjadi jika bilangan yang ditulisan adalah 7.568.889. Meskipun Mesir kuno juga belum mengenal bilangan 0 sama seperti Mesopotamia, namun hal ini tidak menimbulkan masalah karena sistem penulisan ini memang tidak membutuhkan bilangan 0.
Lambang bilangan yang digunakan oleh Mesir Kuno pada awalnya adalah hiroglif, lalu dikembangkan menjadi hiratik, kemudian demotik yang dituliskan di atas batu atau pada papirus. Perubahan tulisan ini menyebabkan ikut berubahnya bentuk lambang bilangan.
Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa adanya perubahan dalam penulisan lambang. Lambang yang tadinya berupa gambar yang kompleks sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menuliskannya, dalam perkembangannya dituliskan hanya berupa garis yang bentuknya mirip dengan lambang sebelumnya.
Hal ini menunjukkan adanya penyederhanaan lambang penulisan, baik abjad maupun lambang bilangan. Dengan penulisan lambang yang lebih sederhana khususnya dalam penulisan lambang untk bilangan, maka perhitungan antar bilangan menjadi lebih mudah dari sebelumnya. Namun karena sistem bilangan yang digunakan adalah sistem pengelompokan, maka tetap saja dalam perngerjaan berhitungnya masih tergolong cukup rumit dibandingkan Mesopotamia yang menggunakan bilanagan dengan sistem letak.
Seperti halnya di Mesopotamia, Mesir Kuno pada masa ini telah mengenal bilangan pecahan  meskipun penulisannya memiliki ciri tersendiri.
 Selain itu, mereka juga telah mengenal deret hitung dan deret ukur, walaupun penggunaannya masih bersifat terhingga serta ilmu aljabar berupa persamaan linear sederhana. Ilmu yang berkembang cukup maju dibandingkan dengan Mesopotamia adalah ilmu ukur. Mereka telah mempelajari sifat dari bentuk-bentuk ilmu ukur bidang dan ruang, bahkan mereka telah dapat mengukur isi berbagai bangun ruang dan hubungan antara garis tengah dan keliling lingkaran.

Melalui penjelasan diatas, terlihat jelas bahwa berhitung telah berkembang jauh dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Pada masa ini, bilangan telah dituliskan dalam lambang-lambang, berhitung tidak lagi selalu berkaitan dengan objek atau benda, serta sudah dikenalnya bilangan-bilangan pecahan.
Kemudian, pengetahuan berhitung sampailah kepada Orang-orang Yunani. Orang-orang Yunani kuno sendiri telah mengenal berhitung  sejak zaman awal tarikh masehi. Mereka menamakan berhitung sebagai arithmetike, yang berasal dari kata arithmos (bilangan) dan techne (ilmu pengetahuan).
Namun, sebagian besar hasil pemikiran mereka tidak hanya menyangkut matematika. Para pemikir di Yunani Kuno pada masa itu sangat terkenal oleh pemikiran-pemikiran filsafatnya, terutama tentang alam. Mereka mulai berpikir mengenai unsur dasar yang membentuk alam, sifat-sifat unsur pembentuk alam, proses pembentukan alam, dan lain sebagainya. Namun dalam hal pembuktian kebenaran pemikiran mereka dipadankan dengan matematika.
Contohnya saja jawaban-jawaban atas pertanyaan mereka tentang alam seperti : ketiadaan, ketunggalan, dan ketakhinggaan dipadankan dengan bilangan 0, 1, dan tak hingga. Pemaduan antara matematika dan filsafat inilah yang menjadi dugaan atas lahirnya matematika yang lebih maju dibandingkan dengan sebelumnya yang masih sederhana.
Perbedaan yang mendasar antara berhitung pada zaman ini dengan berhitung pada zaman sebelumnya adalah bahwa matematika atau tepatnya berhitung sebelumnya hanya dikembangkan dan digunakan untuk digunakan dalam keperluan praktis. Sedangkan orang-orang Yunani lebih mengutamakan mengenai hakikat dan pengertian dari berhitung.
Untuk lebih jelasnya,  berikut ini akan lebih lengkap dipaparkan dua tokoh pemikir dari Zaman Yunani Kuno yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan berhitung dan pemikiran-pemikirannya  mempengaruhi cara berpikir orang-orang setelahnya mengenai pengertian berhitung.

1.      Pytagoras (Samos, 582 SM)
Salah satu pemikir dari Yunani Kuno yang terkenal adalah Pythagoras. Pythagoras dikenal sebagai perintis pengetahuan berhitung terutama pengetahuan tentang bilangan. Ada dugaan bahwa pemikiran Pytagoras banyak dipengaruhi oleh benda-benda yang ditemukan di tempat kerja ayahnya yang seorang pandai perak dan batu permata. Pytagoras melihat sisi-sisi batu permata yang banyak dan beraturan itu sebagai bentuk keindahan, dan keindahan tersebut berhubungan dengan bilangan-bilangan yang menunjukkan jumlah sisi batu permata.
Bagi Pytagoras dan perguruannya, segala sesuatu adalah tentang bilangan. Dalam hal benda, mereka lebih tertarik kepada bentuk benda daripada zat yang membentuk benda tersebut, kemudian dari bentuk tersebut dicarikan padanannya dengan bilangan.
Salah satu penemuan tebesar Pytagoras adalah hubungan antara nada musik dengan perbandingan panjang dawai. Pytagoras menamakan hubungan ini sebagai Harmoni. Melalui harmoni, kenyataan dapat disederhanakan ke dalam bilangan atau perbandingan bilangan. Penemuan harmoni ini membuat perguruan Pytagoras mendewakan bilangan. Mereka sampai beranggapan bahwa hubungan antara kenyataan dengan bilangan akan diketahui apabila ditemukan aturan-aturan yang mengatur hubungan itu.
Pytagoras juga menyatakan bilangan dengan titik-titik, yang apabila disusun di sebuah bidng datar atau bangun ruang akan ditemukan bentuk yang bermacam-macam. Pytagoras kemudian mencapai pengertian tentang atom-atom titik. Garis terdiri atas titik-titik yang tidak dapat dibagi lagi sehingga jumlah titik dalam suatu garis terhingga banyaknya.
Melalui uraian mengenai pemikiran Pytagoras diatas, dapat di pahami bahwa pengertian berhitung terutama perluasan pengertian tentang bilangan telah mencapai tahap pemikiran yang begitu mendalam. Dan dengan munculnya pemikiran ini, telah membuka jalan kepada orang-orang setelahnya untuk berpikir bahwa berhitung dan bilangan bersifat universal.
2.      Zeno (Elea, 450 SM)
Pemikir dari zaman Yunani Kuno yang tidak kalah terkenalnya dengan Pytagoras adalah Zeno. Zeno dari Elea terkenal dengan paradoksnya yang sempat menghebohkan para pemikir selama hampir dua puluh abad lamanya.
Paradoks zeno muncul sebagai ungkapan ketidaksetujuan Zeno terhadap pemikiran para pemikir di zamannya. Paradoks ini disusun dengan meminjam hipotesis lawan untuk menyusun suatu masalah yang cukup aneh. Beberapa paradoks tersebut diantaranya adalah:
1.      Dikotomi
Apabila anda akan berlari pada gelanggang perlombaan, maka anda harus menempuh dulu jarak separuhnya sebelum anda dapat menempuh keseluruhannya. Dari sisa separuhnya, anda juga harus menempuh dulu separuhnya lagi sebelum anda dapat menempuh keseluruhannya. Demikian terus menerus menempuh separuh jarak dari sisanya sebanyak tak hingga kali. Jadi pada jarak lari tersebut terdapat tak hingga titik. Tidak mungkin dapat menempuh tak hingga titik dalam waktu yang terhingga.
Kesimpulan : Anda tidak akan sampai pada ujung jarak lari tersebut.
2.      Achilles
Achilles yang terkenal dapat berlari cepat berlomba lari dengan kura-kura yang tidak dapat berlari cepat. Mereka menuju ke arah yang sama sedangkan kura-kura sedikit di depan Achilles. Betapa cepatpun achilles berlari, mula-mula ia harus mencapai dulu tempat kura-kura itu mulai beranjak. Namun pada saat itu kura-kura telah maju beberapa jarak ke depan. Kemudian Achilles haris menempuh lagi jarak ke tempat kura-kura itu namun pada saat itu kura-kura sudah maju lagi. Demikian terus-menerus, Achilles hanya akan selalu mendekati kura-kura tersebut.
Kesimpulan : Achilles tidak mungkin menyusul kura-kura tersebut.
3.      Panah
Anak panah dilepaskan dari busurnya. Pada suatu ketika, anak panah itu akan menempati suatu ruang tepat sepanjang ukuran anak panah tersebut. Dalam ketika itu anak panah tidak bergerak. Katakanlah bahwa ketika itu adalah kini. Jadi pada ketika kini, anak panah itu tidak bergerak.pada kini berikutnya, dengan alasan yang sama anak panah itu tidak bergerak. Demikian seterusnya, karena jalannya waktu adalah kini yang satu ke kini berikutnya.
Kesimpulan: anak panah yang dilepaskan dari busurnya tidak dapat bergerak.
4.      Stadium
Dalam suatu stadium perlombaan terdapat tiga deretan benda masing-masing deretan A, B, dan C. Deretan benda A diam di suatu tempat dari stadium itu sedangkan deretan B dan C bergerak dengan arah yang berlawanan. Setelah mengelilingi stadium, deretan benda B dan C kembali lagi ke tempat deretan benda A. Sampai pada saat itu deretan benda B telah melewati dua kali lebih banyak benda pada deretan benda C daripada benda pada deretan benda A. Tetapi waktu yang dipergunakan oleh deretan benda B dan C adalah sama.
Kesimpulan : Suatu selang waktu sama dengan dua kalinya.
Uraian-uraian Zeno diatas tidak dapat diterima sebagai suatu kebenaran secara pengalaman, namun belum dapat dibantah sebagai suatu ketidakbenaran secara logika. Tanggapan-tanggapan pun muncul dari para pemikir. Tanggapan yang paling umum adalah dugaan bahwa Zeno sedang mempertentangkan pemikiran orang-orang di zamannya.
Paradoks Zeno ini juga menimbulkan masalah lain dalam berhitung, yaitu masalah ketakhinggaan. Dari Dikotomi Zeno, ditemukan suatu proses berhitung untuk menjumlahkan separuh, seperempat, seperdelapan, dan seterusnya sampai tak hingga suku. Dalam hal ini timbullah pertanyaan apakah deret yang menuju bilangan renik ini mempunyai batas atau tidak, dengan kata lain tehingga atau tak terhingga. Kemudian muncul pertanyaan apakah ketakhinggaan seperti ini berujung atau mempunyai batas atau tidak.
Muncul pula pemikiran yang serupa dengan hal diatas mengenai deret dari bilangan-bilangan yang kita kenal  jika dijajarkan secara berurut dari kecil ke besar maka akan memiliki tah hingga suku banyaknya, yang tentu saja tidak berbatas. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa ketakhinggaan tidak berbatas namun memiliki awal. Namun di sisi lain, dengan jalan yang sama diperoleh kenyataan bahwa mungkin saja ketakhinggaan berlaku dua arah, tidak mempunyai batas akhir dan tidak bermula seperti halnya pengertian dalam garis.
Pengertian ketakhinggaan yang bermacam-macam ini menimbulkan juga bermacam-macam tafsiran sehingga kemudian diperoleh istilah ketakhinggaan matematika dan ketakhinggaaan dari filsafat, atau ketakhinggaan potensial dan ketakhinggaan  sejati.
Munculnya paradoks ini menimbulkan suatu perkembangan berhitung ke arah yang baru dan munculnya pandangan baru terhadap berhitung yang berbeda dengan pandangan orang-orang pada zaman sebelumnya sehingga dapat dikatakan bahwa zaman ini merupakan zaman peralihan.
 Manusia setelah zaman ini mulai melihat berhitung dalam pengertian yang lebih luas lagi. Mereka tidak hanya memperhatikan bilangan besar, namun mereka juga memikirkan hakikat sesungguhnya bilangan besar tak hingga. Kemudian, mereka juga mulai memikirkan bilangan ketiadaan atau nol, juga bilangan renik yang nilainya mendekati nol. Selanjutnya mereka juga mulai memikirkan bagaimana hasilnya jika bilangan-bilangan tersebut saling dioperasikan satu sama lain. Begitu seterusnya, pengertian berhitung berkembang ke arah yang lebih luas lagi.

Demikianlah uraian singkat mengenai sejarah berhitung sejak zaman purba dimana berhitung masih merupakan hal sederhana sebagai pengungkapan atas suatu kuantitas, sampai pada zaman Yunani Kuno dimana berhitung mulai mengalami perluasan makna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar