Matematika tidak hanya tentang berhitung. Berhitung
hanya merupakan salah satu cabang dari matematika. Namun berhitung ada dan
dibutuhkan hampir di semua cabang dari matematika yang ada saat ini. Dari
80 cabang besar matematika, berhitung ada dan turut berperan penting di hampir
semua cabang besar tersebut, baik sebagai terapan maupun sebagai alat bantu
dalam perhitungan.
Berhitung pada umumnya didefinisikan sebagai ilmu
pengetahuan tentang bilangan. Lebih lengkapnya, Webster’s New Third
International Dictionary merumuskan berhitung sebagai “cabang matematika
yang berkenaan dengan sifat dan hubungan bilangan-bilangan nyata dan dengan
perhitungan mereka terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian.
Untuk lebih memahami makna berhitung, maka perlu
dipahami terlebih dahulu mengenai pengertian dari bilangan. Menurut Bruce E.
Meserve, bilangan adalah suatu abstraksi, artinya bilangan tidak memiliki
keberadaan secara fisik. Namun, bilangan dapat dituliskan dengan
lambang-lambang yang dapat mewakili suatu bilangan yang ingin disampaikan.
Bilangan sendiri muncul karena adanya suatu kuantitas
yang ingin diungkapkan. Setelah bilangan sudah dapat dituliskan dengan
lambang-lambang bilangan, selanjutnya manusia mulai mengembangkan sifat-sifat,
hubungan, aturan, serta perhitungan yang terjadi antar bilangan-bilangan
tersebut sehingga muncullah istilah berhitung.
Sejarah berhitung merupakan sejarah yang panjang,
karena berhitung sendiri telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Tidak ada yang
mengetahui oleh siapa, dimana, dan kapan tepatnya berhitung ditemukan,
karena sebenarnya berhitung bukan merupakan temuan para pemikir, namun
berhitung merupakan sebuah kebutuhan yang ada di dalam diri manusia dalam
berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh sebab itulah
perkembangan berhitung terpencar di berbagai pusat kebudayaaan kuno dengan
pertumbuhan yang terpisah-pisah.
Secara garis besar, tahapan pertumbuhan berhitung dari
zaman kuno sampai masa kini:
1. Zaman purbakala –
Tahun 600 SM
Mesopotamia dan Mesir kuno
2. Tahun 600 SM – Tahun
450
Yunani Kuno
3. Tahun 450 – Tahun
1200
Hindu-Arab
4. Tahun 1200 – Tahun
1600
Eropa Lama
5. Tahun 1600 –
Sekarang
Masa kini
Peninggalan sejarah berhitung yang tertua adalah dari
zaman Mesopotamia dan Mesir Kuno. Namun, bukan berarti pada masa itulah
berhitung pertama kali ada. Sebenarnya berhitung sendiri telah ada dan
dipergunakan oleh masyarakat primitif sejak zaman Batu Tua atau Paleolitikum.
Hal ini dibuktikan dengan seiring ditemukannya sisa-sisa kebudayaan suku bangsa
yang dianggap primitif, ditemukan pula bukti bahwa suku tersebut sudah mengenal
berhitung.
Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai
perkembangan berhitung pada Zaman Batu Tua dan Zaman Batu Muda:
1. Zaman Batu Tua
(Paleolitikum)
Salah satu ciri dari kebudayaan pada masa ini adalah
sikap pasif manusia terhadap alam. Mereka hidup berpindah-pindah tempat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka belum bisa mengolah lingkungan sekitarnya
untuk disuaikan dengan kebutuhan. Hal ini menunjukkan bahwa pola pikir
masyarakat pada zaman ini belum berkembang pesat.
Begitu pula dengan pengetahuan mereka tentang
berhitung yang berkembang dengan lambat. Bahkan ada dugaan bahwa manusia pada
zaman ini belum mengenal berhitung sebagai suatu besaran kuantitatif, melainkan
masih bersifat kualitatif, yaitu hanya sekedar untuk membedakan antara satu,
dua dan banyak.
2. Zaman Batu Muda
(Neolitikum)
Zaman ini merupakan Zaman peralihan dari zaman Batu
Tua, yaitu sekitar 10.000 tahun yang lalu. Manusia pada zaman ini tidak lagi
bersifat pasif terhadap alam. Mereka tidak lagi hidup berpindah-pindah untuk
memenuhi kebutuhan hidup, melainkan mereka mulai pandai mengolah alam
sekitarnya untuk menghasilkan cara hidup yang lebih terancana. Hal ini
memungkinkan terbukanya peluang bagi masyarakat saat itu untuk mengembangkan kebudayaan
mereka, salah satunya adalah berkembangnya sistem berhitung.
Perkembangan berhitung pada zaman ini telah mencakup
pengetahuan berupa penjumlahan, pengurangan, bahkan sampai ke perkalian dan
pembagian. Mereka juga mengembangkan berhitung berupa pengukuran dan
penimbangan guna perencanaan dan persiapan. Perbedaan yang signifikan antara
berhitung pada zaman ini dengan zaman sebelumnya adalah bahwa manusia pada
zaman ini sudah dapat menghitung benda-benda sebelum benda-benda tersebut ada.
Dari penjelasan diatas, jelas bahwa behitung merupakan
salah satu kebudayaan kuno yang bahkan telah ada dan berkembang bahkan sejak
Zaman Batu Tua, dan mulai berkembang ke arah berhitung di masa kini pada
Zaman Batu Muda. Namun, tetap ada beberapa perbedaan yang signifikan antara
berhitung pada zaman kuno dengan berhitung pada zaman-zaman setelahnya.
Diantaranya adalah :
a. Kemampuan
berhitung masyarakat pada zaman kuno terbatas pada bilangan-bilangan bulat.
Jika ada perhitungan yang tidak bernilai bulat, maka mereka menyatakannya
dengan satuan ukuran yang lain. Contohnya, mereka tidak menyatakan suatu
bilngan hasil dari pengukuran dengan satu setengah hasta, melainkan mereka
menyatakannya dengan satu hasta satu jengkal.
b. Berhitung pada zaman
ini terikat pada benda atau objek. Mereka belum bisa menetralkan bilangan
menjadi angka yang abstrak.
c. Terbatas pada
bilangan-bilangan terhingga.
Perkembangan berhitung selanjutnya yaitu pada masa
Mesopotamia di Sumeria, Babilonia, dan di Mesir kuno. Hal ini bukan
berarti berhitung tidak berkembang di daerah lain, hanya saja perkembangan
berhitung yang sangat pesat dan masih mempengaruhi sistem berhitung masa kini
dan disertai banyaknya bukti-bukti peninggalan sejarah pada masa itu adalah
peninggalan sejarah berhitung Mesopotamia dan Mesir Kuno.
Telah diketahui pula bahwa kemampuan berhitung
orang-orang pada masa itu cukup tinggi, mulai dari memecahkan
perhitungan-perhitungan yang cukup rumit sampai perhitungan ilmu ukur.
Kenyataan lain yang diperoleh adalah bahwa orang-orang di masa ini sudah dapat
menuliskan bilangan-bilangan dengan simbol-simbol berupa angka. Hal ini penting
diketahui mengingat teknik berhitung sangat dipengaruhi oleh sistem penulisan
bilangan.
Menurut lambang dan sistem penulisan bilangan yang ada
pada masa ini, dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu :
1. Kelompok Mesopotamia
dengan Sumeria dan Babilonia
Sistem penulisan bilangan Mesopotamia adalah
berdasarkan letak angka, sama seperti sistem yang digunakan sampai saat ini.
Sistem penulisan ini mengakibatkan angka yang sama dapat memiliki nilai yang
berbeda jika peletakannya berbeda. Menurut O.Neugebaur, penemuan penulisan
bilangan berdasarkan letak mungkin disebabkan oleh tulisan mereka yang terdiri
atas abjad. Abjad dijajarkan untuk menjadi kata, demikian pula angka dijajarkan
untuk menjadi bilangan.
Sedangkan untuk bilangan dasar yang digunakan oleh
orang-orang Mesopotamia adalah bilangan dasar seksagesimal. Misalnya,
bilangan 11 pada bilangan dasar seksagesimal diartikan 1 jam 1 menit atau 61
dalam sistem bilangan desimal. Namun, pada dasarnya kepraktisan perhitungan
bukan ditentukan oleh bilangan dasar, melainkan ditentukan oleh sistem
penulisannya. Dan penulisan bilangan dengan sistem letak merupakan sistem yang
sangat memudahkan dalam proses perhitungan, oleh sebab itulah sistem bilangan
yang banyak dipakai sampai sekarang adalah sistem letak, tentunya setelah
melalui proses penyempurnaan tahap demi tahap selama ribuan tahun.
Kendala yang dihadapi oleh orang-orang Mesopotamia
yang menggunakan sistem letak dalam penulisan bilangan ini bahwa mereka pada
saat itu belum mengenal lambang bilangan 0. Tanpa adanya bilangan 0, maka sulit
untuk membedakan bilangan 1 dengan 60. Atau contohnya dalam penulisan
bilangan dasar desimal, akan sulit untuk membedakan antara bilangan 1, 10, 100,
dan seterusnya tanpa adanya lambang bilangan 0.
Namun tetap saja, sekalipun terdapat beberapa kendala
seperti contohnya tadi belum dikenalnya bilangan 0, dengan sistem bilangan
berdasarkan letak ini perkembangan berhitung di Mesopotamia khususnya
perkembangan dalam teknik berhitung berkembang sangat pesat terutama pada zaman
Babilonia. Mereka bahkan sudah bisa membuat persamaan dengan variabel-variabel
serta menyelesaikan persamaan kuadrat dan kubik. Dalam bidang ilmu ukur, mereka
juga telah mampu menghitung luas bangun datar dan volum bangun ruang.
Untuk penulisan lambang bilangan,
orang-orang Mesopotamia menuliskannya dalam bentuk baji. Diperkirakan tulisan
ini berasal dari Sumeria yang pada awalnya diciptakan untuk memudahkan
pencatatan harta kekayaan dan hasil bumi dalam pengorganisasian sistem ekonomi
mereka.
2. Kelompok Mesir Kuno
Sistem penulisan bilangan Mesir Kuno dilakukan menurut
beberapa ketentuan, yaitu berdasarkan sistem pengelompokan dimana penulisan
lambang bilangan dalam satu kelompok dilakukan dengan pengulangan lambang
bilangan dari anggota kelompok terkecil, dan berdasarkan sistem bilangan dasar
desimal tanpa sistem letak bilangan. Setiap kelipatan sepuluh dinyatakan
dengan lambang sendiri.
Misalnya jika A adalah sebagai satuan, B sebagai
puluhan dan C sebagai ratusan, maka bilangan 332 ditulis CCCBBBAA. Suatu
penulisan yang cukup panjang untuk menyatakan bilangan ratusan, bisa
dibayangkan kesulitan yang terjadi jika bilangan yang ditulisan adalah
7.568.889. Meskipun Mesir kuno juga belum mengenal bilangan 0 sama seperti
Mesopotamia, namun hal ini tidak menimbulkan masalah karena sistem penulisan
ini memang tidak membutuhkan bilangan 0.
Lambang bilangan yang digunakan oleh Mesir Kuno pada
awalnya adalah hiroglif, lalu dikembangkan menjadi hiratik, kemudian demotik
yang dituliskan di atas batu atau pada papirus. Perubahan tulisan ini
menyebabkan ikut berubahnya bentuk lambang bilangan.
Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa adanya
perubahan dalam penulisan lambang. Lambang yang tadinya berupa gambar yang
kompleks sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menuliskannya, dalam
perkembangannya dituliskan hanya berupa garis yang bentuknya mirip dengan
lambang sebelumnya.
Hal ini menunjukkan adanya penyederhanaan lambang
penulisan, baik abjad maupun lambang bilangan. Dengan penulisan lambang yang
lebih sederhana khususnya dalam penulisan lambang untk bilangan, maka
perhitungan antar bilangan menjadi lebih mudah dari sebelumnya. Namun karena
sistem bilangan yang digunakan adalah sistem pengelompokan, maka tetap saja
dalam perngerjaan berhitungnya masih tergolong cukup rumit dibandingkan
Mesopotamia yang menggunakan bilanagan dengan sistem letak.
Seperti halnya di Mesopotamia, Mesir Kuno pada masa
ini telah mengenal bilangan pecahan meskipun penulisannya memiliki ciri
tersendiri.
Selain itu, mereka juga telah mengenal deret
hitung dan deret ukur, walaupun penggunaannya masih bersifat terhingga serta
ilmu aljabar berupa persamaan linear sederhana. Ilmu yang berkembang cukup maju
dibandingkan dengan Mesopotamia adalah ilmu ukur. Mereka telah mempelajari
sifat dari bentuk-bentuk ilmu ukur bidang dan ruang, bahkan mereka telah dapat
mengukur isi berbagai bangun ruang dan hubungan antara garis tengah dan
keliling lingkaran.
Melalui penjelasan diatas, terlihat jelas bahwa
berhitung telah berkembang jauh dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Pada masa
ini, bilangan telah dituliskan dalam lambang-lambang, berhitung tidak lagi selalu
berkaitan dengan objek atau benda, serta sudah dikenalnya bilangan-bilangan
pecahan.
Kemudian, pengetahuan berhitung sampailah kepada
Orang-orang Yunani. Orang-orang Yunani kuno sendiri telah mengenal berhitung
sejak zaman awal tarikh masehi. Mereka menamakan berhitung sebagai
arithmetike, yang berasal dari kata arithmos (bilangan) dan techne
(ilmu pengetahuan).
Namun, sebagian besar hasil pemikiran mereka tidak
hanya menyangkut matematika. Para pemikir di Yunani Kuno pada masa itu sangat
terkenal oleh pemikiran-pemikiran filsafatnya, terutama tentang alam. Mereka
mulai berpikir mengenai unsur dasar yang membentuk alam, sifat-sifat unsur
pembentuk alam, proses pembentukan alam, dan lain sebagainya. Namun dalam hal
pembuktian kebenaran pemikiran mereka dipadankan dengan matematika.
Contohnya saja jawaban-jawaban atas pertanyaan mereka
tentang alam seperti : ketiadaan, ketunggalan, dan ketakhinggaan dipadankan
dengan bilangan 0, 1, dan tak hingga. Pemaduan antara matematika dan filsafat
inilah yang menjadi dugaan atas lahirnya matematika yang lebih maju
dibandingkan dengan sebelumnya yang masih sederhana.
Perbedaan yang mendasar antara berhitung pada zaman
ini dengan berhitung pada zaman sebelumnya adalah bahwa matematika atau
tepatnya berhitung sebelumnya hanya dikembangkan dan digunakan untuk digunakan
dalam keperluan praktis. Sedangkan orang-orang Yunani lebih mengutamakan
mengenai hakikat dan pengertian dari berhitung.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan lebih
lengkap dipaparkan dua tokoh pemikir dari Zaman Yunani Kuno yang sangat besar
pengaruhnya bagi perkembangan berhitung dan pemikiran-pemikirannya mempengaruhi
cara berpikir orang-orang setelahnya mengenai pengertian berhitung.
1. Pytagoras (Samos, 582
SM)
Salah satu pemikir dari Yunani Kuno yang terkenal
adalah Pythagoras. Pythagoras dikenal sebagai perintis pengetahuan berhitung
terutama pengetahuan tentang bilangan. Ada dugaan bahwa pemikiran Pytagoras
banyak dipengaruhi oleh benda-benda yang ditemukan di tempat kerja ayahnya yang
seorang pandai perak dan batu permata. Pytagoras melihat sisi-sisi batu permata
yang banyak dan beraturan itu sebagai bentuk keindahan, dan keindahan tersebut
berhubungan dengan bilangan-bilangan yang menunjukkan jumlah sisi batu permata.
Bagi Pytagoras dan perguruannya, segala sesuatu adalah
tentang bilangan. Dalam hal benda, mereka lebih tertarik kepada bentuk benda
daripada zat yang membentuk benda tersebut, kemudian dari bentuk tersebut
dicarikan padanannya dengan bilangan.
Salah satu penemuan tebesar Pytagoras adalah hubungan
antara nada musik dengan perbandingan panjang dawai. Pytagoras menamakan
hubungan ini sebagai Harmoni. Melalui harmoni, kenyataan dapat disederhanakan
ke dalam bilangan atau perbandingan bilangan. Penemuan harmoni ini membuat
perguruan Pytagoras mendewakan bilangan. Mereka sampai beranggapan bahwa
hubungan antara kenyataan dengan bilangan akan diketahui apabila ditemukan
aturan-aturan yang mengatur hubungan itu.
Pytagoras juga menyatakan bilangan dengan titik-titik,
yang apabila disusun di sebuah bidng datar atau bangun ruang akan ditemukan
bentuk yang bermacam-macam. Pytagoras kemudian mencapai pengertian tentang
atom-atom titik. Garis terdiri atas titik-titik yang tidak dapat dibagi lagi
sehingga jumlah titik dalam suatu garis terhingga banyaknya.
Melalui uraian mengenai pemikiran Pytagoras diatas,
dapat di pahami bahwa pengertian berhitung terutama perluasan pengertian
tentang bilangan telah mencapai tahap pemikiran yang begitu mendalam. Dan
dengan munculnya pemikiran ini, telah membuka jalan kepada orang-orang
setelahnya untuk berpikir bahwa berhitung dan bilangan bersifat universal.
2. Zeno (Elea, 450 SM)
Pemikir dari zaman Yunani Kuno yang tidak kalah
terkenalnya dengan Pytagoras adalah Zeno. Zeno dari Elea terkenal dengan
paradoksnya yang sempat menghebohkan para pemikir selama hampir dua puluh abad
lamanya.
Paradoks zeno muncul sebagai ungkapan ketidaksetujuan
Zeno terhadap pemikiran para pemikir di zamannya. Paradoks ini disusun dengan
meminjam hipotesis lawan untuk menyusun suatu masalah yang cukup aneh. Beberapa
paradoks tersebut diantaranya adalah:
1.
Dikotomi
Apabila anda akan berlari pada gelanggang perlombaan,
maka anda harus menempuh dulu jarak separuhnya sebelum anda dapat menempuh
keseluruhannya. Dari sisa separuhnya, anda juga harus menempuh dulu separuhnya
lagi sebelum anda dapat menempuh keseluruhannya. Demikian terus menerus
menempuh separuh jarak dari sisanya sebanyak tak hingga kali. Jadi pada jarak
lari tersebut terdapat tak hingga titik. Tidak mungkin dapat menempuh tak
hingga titik dalam waktu yang terhingga.
Kesimpulan :
Anda tidak akan sampai pada ujung jarak lari tersebut.
2.
Achilles
Achilles yang terkenal dapat berlari cepat berlomba
lari dengan kura-kura yang tidak dapat berlari cepat. Mereka menuju ke arah
yang sama sedangkan kura-kura sedikit di depan Achilles. Betapa cepatpun
achilles berlari, mula-mula ia harus mencapai dulu tempat kura-kura itu mulai
beranjak. Namun pada saat itu kura-kura telah maju beberapa jarak ke depan.
Kemudian Achilles haris menempuh lagi jarak ke tempat kura-kura itu namun pada
saat itu kura-kura sudah maju lagi. Demikian terus-menerus, Achilles hanya akan
selalu mendekati kura-kura tersebut.
Kesimpulan :
Achilles tidak mungkin menyusul kura-kura tersebut.
3.
Panah
Anak panah dilepaskan dari busurnya. Pada suatu
ketika, anak panah itu akan menempati suatu ruang tepat sepanjang ukuran anak
panah tersebut. Dalam ketika itu anak panah tidak bergerak. Katakanlah bahwa
ketika itu adalah kini. Jadi pada ketika kini, anak panah itu tidak
bergerak.pada kini berikutnya, dengan alasan yang sama anak panah itu tidak
bergerak. Demikian seterusnya, karena jalannya waktu adalah kini yang satu ke
kini berikutnya.
Kesimpulan:
anak panah yang dilepaskan dari busurnya tidak dapat bergerak.
4.
Stadium
Dalam suatu stadium perlombaan terdapat tiga deretan
benda masing-masing deretan A, B, dan C. Deretan benda A diam di suatu tempat
dari stadium itu sedangkan deretan B dan C bergerak dengan arah yang
berlawanan. Setelah mengelilingi stadium, deretan benda B dan C kembali lagi ke
tempat deretan benda A. Sampai pada saat itu deretan benda B telah melewati dua
kali lebih banyak benda pada deretan benda C daripada benda pada deretan benda
A. Tetapi waktu yang dipergunakan oleh deretan benda B dan C adalah sama.
Kesimpulan :
Suatu selang waktu sama dengan dua kalinya.
Uraian-uraian Zeno diatas tidak dapat diterima sebagai
suatu kebenaran secara pengalaman, namun belum dapat dibantah sebagai suatu
ketidakbenaran secara logika. Tanggapan-tanggapan pun muncul dari para pemikir.
Tanggapan yang paling umum adalah dugaan bahwa Zeno sedang mempertentangkan
pemikiran orang-orang di zamannya.
Paradoks Zeno ini juga menimbulkan masalah lain dalam
berhitung, yaitu masalah ketakhinggaan. Dari Dikotomi Zeno, ditemukan suatu
proses berhitung untuk menjumlahkan separuh, seperempat, seperdelapan, dan
seterusnya sampai tak hingga suku. Dalam hal ini timbullah pertanyaan apakah
deret yang menuju bilangan renik ini mempunyai batas atau tidak, dengan kata
lain tehingga atau tak terhingga. Kemudian muncul pertanyaan apakah
ketakhinggaan seperti ini berujung atau mempunyai batas atau tidak.
Muncul pula pemikiran yang serupa dengan hal diatas
mengenai deret dari bilangan-bilangan yang kita kenal jika dijajarkan
secara berurut dari kecil ke besar maka akan memiliki tah hingga suku
banyaknya, yang tentu saja tidak berbatas. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa
ketakhinggaan tidak berbatas namun memiliki awal. Namun di sisi lain, dengan
jalan yang sama diperoleh kenyataan bahwa mungkin saja ketakhinggaan berlaku
dua arah, tidak mempunyai batas akhir dan tidak bermula seperti halnya
pengertian dalam garis.
Pengertian ketakhinggaan yang bermacam-macam ini
menimbulkan juga bermacam-macam tafsiran sehingga kemudian diperoleh istilah
ketakhinggaan matematika dan ketakhinggaaan dari filsafat, atau ketakhinggaan
potensial dan ketakhinggaan sejati.
Munculnya paradoks ini menimbulkan suatu perkembangan
berhitung ke arah yang baru dan munculnya pandangan baru terhadap berhitung
yang berbeda dengan pandangan orang-orang pada zaman sebelumnya sehingga dapat
dikatakan bahwa zaman ini merupakan zaman peralihan.
Manusia setelah zaman ini mulai melihat
berhitung dalam pengertian yang lebih luas lagi. Mereka tidak hanya
memperhatikan bilangan besar, namun mereka juga memikirkan hakikat sesungguhnya
bilangan besar tak hingga. Kemudian, mereka juga mulai memikirkan bilangan
ketiadaan atau nol, juga bilangan renik yang nilainya mendekati nol.
Selanjutnya mereka juga mulai memikirkan bagaimana hasilnya jika
bilangan-bilangan tersebut saling dioperasikan satu sama lain. Begitu
seterusnya, pengertian berhitung berkembang ke arah yang lebih luas lagi.
Demikianlah uraian singkat mengenai sejarah berhitung
sejak zaman purba dimana berhitung masih merupakan hal sederhana sebagai
pengungkapan atas suatu kuantitas, sampai pada zaman Yunani Kuno dimana berhitung
mulai mengalami perluasan makna.